Globalisasi Mengancam Kebudayaan Papua

Oleh : Lidia Timoti Siep (*)

Neil Postman pernah memperingatkan, saat kehidupan cultural didefinisikan kembali sebagai arus hiburan tanpa henti, bila wacana serius publik, seperti agama, kemanusiaan, ketidakadilan, telah menjadi sebentuk ocehan bayi dan acara televisi telah menjadi substansi dari agama, maka sebuah bangsa akan berada ditepi jurang kematian kebudayaannya (Wibowo Fred:2007:11)


Globalisasi merupakan fenomena sosial-budaya yang dengan cepat merubah pola hidup manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Globalisasi pun menawarkan kepuasan individual dan golongan yang semakin menekan pengambilan keputusan dengan resiko yang sangat riskan. Keputusan tanpa pertimbangan matang, yang berdampak pada terancamnya keberadaan sebuah kebudayaan asli. Semisal, keputusan melalui kesombongan teknologi, ekonomi, politik, yang secara berangsur dapat dengan mudah menggeser nilai-nilai budaya/tradisi asli.

Suku-suku di Papua sedang mengalami geger budaya atau bukan tidak mungkin. Banyak studi atau penelitian membuktikan bahwa dibalik kemajuan pembangunan di Papua, pada saat yang sama, suku-suku di Papua yang tidak kuat dan kurang beradaptasi terhadap perubahan yang berlangsung cepat di wilayahnya, sedang mengalami geger budaya. Geger budaya sejak industri-industri masuk ke wilayah Papua, bahkan saat ini semakin intensif, menunjukkan sebuah perubahan sosial-budaya yang sangat drastis. Perubahan tersebut dapat terlihat dari bagaimana masyarakat Papua telah mengenal teknologi modern dalam kurun waktu 3 dekade. Teknologi modern memberikan sebuah perubahan baru dalam kehidupan masyarakat Papua dan fenomena ini, kini sedang menjadi sebuah pergulatan dalam masyarakat Papua, bahwa bagaimana mereka dapat menerima kebudayaan baru, yang datang dari luar lingkungannya, tanpa mengalami pergeseran nilai budaya asli, yang pastinya akan berdampak pada tatanan hidup mereka.

Budaya lokal berada pada posisi terancam. Budaya lokal bertahan atau bergeser tergantung pada legitimasi adat, komunitas/suku-suku yang berada di Papua sebagai penganut dan pelaksana budayanya. Komunitas adat yang lemah pastinya akan berdampak pada gegernya nilai-nilai baik dari komunitas local itu. Komunitas lokal yang kuat pasti akan mempertahankan nilai-nilai hidup baik sekali pun arus golobalisai atau indutrialisasi mengerogoti ketahanan budaya.

Hasil kajian yang dilakukan FISIP Universitas Airlangga (2010) bahwa kenyataan tidak menjawab apakah komunitas atau suku-suku di Papua umumnya dan khususnya di pedalaman Papua sudah siap untuk mempertahankan nilai-nilai budaya Asli/Lokal setempat (Kompas, 03/11/11). Jawaban atas kenyataan tersebut diperkuat dengan adanya fenomena yang sedang terjadi dan mengarah pada pergeseran nilai budaya asli. Fenomena pergeseran nilai budaya asli tersebut dapat timbul akibat kebijakan-kebijakan pembangunan yang tidak berpihak kepada masyarakat Papua tanpa mempertimbangkan adanya hak-hak cultural warga negara yang harus dilindungi dan dihormati yang di dalamnya terdapat unsur legitimasi Adat. Misalnya, kehadiran dan keberadaan perusahaan-perusahaan lokal, nasional dan multiinternasional yang ada, misalnya; PT. Freeport Indonesia Mc moran, sebagai pihak yang mengelola pertambangan emas di wilayah kabupaten Timika. PT. British Petroleum yang mengelola gas dan minyak bumi di Bintuni. PT. Rajawali, PT.PN II Arso yang mengelola minyak kelapa sawit di kabupaten Keerom/Arso.

Keberadaan dan kehadiran perusahaan-perusahaan tersebut telah mengeksploitasi sumber daya alam Papua secara besar-besaran. Ekplorasi itu mengakibatkan rusaknya ekosistem alam. Rusaknya ekosistem laut akibat pembuangan limbah, suku-suku asli kehilangan Hak Ulayat dan mata pencaharian akibat ilegaloging, tambang dan perusahaan kelapasawit yang membabat habis hutan sagu.

Fenomena demikian menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan pembangunan di Papua sebenarnya tidak mengandung unsur/nilai penting dari kata “kebijakan” itu sendiri. Kebijakan pembangunan, tidak semata-mata hanya sebuah label saja, melainkan bagaimana menempatkan atau memberikan sebuah solusi terbaik yang benar-benar mempertimbangkan kebutuhan masyarakat di Papua dengan porsi yang seadil-adilnya tanpa ada diskriminasi.

Kebijakan-kebijakan pembangunan yang demikian dapat juga diinterpretasikan mengandung unsur legitimasi industrialisasi.  Legitimasi industri cenderung memicu terjadinya tindak kekerasan antara masyarakat Papua dengan pihak Aparat, aparat dengan aparat dan yang lebih disesalkan lagi bahwa kekerasan itu terjadi di antara sesama masyarakat Papua. Pada skala ini, norma-norma adat setempat  tidak dapat lagi memecahkan masalah-masalah/persoalan yang akan dihadapi oleh penduduk atau masyarakat Papua, terkait juga, misalnya soal sengketa tanah adat atau hak ulayat.

Fenomena ini semakin menjelaskan bahwa keberadaan industri memberi dampak semakin melemahnya legitimasi Adat-istiadat dan tradisi masyarakat Papua yang dengan mudah, dapat dimanfaatkan pada momen-momen tertentu untuk kepentingan beberapa pihak semata. Misalnya, kepentingan kaum pemodal dan politikus yang raskus kekayaan dan jabatan. Melemahnya legitimasi adat itu sangat terlihat lagi dari perilaku anak muda. Anak muda Papua tegelam dalam Budaya Massa. Kata mereka yang tegelaman itu “cuek is the best”.  Cuek terhadap sorotan, tuduhan dan harapan kaum tua kepada kaum mudah sebagai generasi pewaris nilai-nilai budaya asli. Sikap cuek ini mengungkapkan bahwa globalisasi cukup memberikan potensi yang sangat signifikan dan mampu mempengaruhi kehidupan anak muda Papua dewasa ini. Kaum mudah Papua mengikuti gaya selebritis media massa seperti, Televisi, Internet, Telepon Seluler (Hp), dan lain sebagainya.

Kondisi ini sebagai pertanda bahwa telah terjadi perubahan yang mengarah pada pergeseran penggunaan dan pemaknaan budaya asli, misalnya dalam penggunaan dan pemaknaan “bahasa tanah” atau “bahasa ibu”. Apabila diperhatikan pada kalangan kaum muda Papua, bahasa “tanah” atau bahasa “ibu” tidak lagi menjadi sarana komunikasi yang rutin di gunakan dalam pergaulan keseharian mereka. Artinya bahwa “bahasa tanah” atau “bahasa ibu” yang dulunya sebagai sarana pengikat sebuah kekerabatan yang sarat makna dalam konteks budaya setempat, tidak praksis lagi untuk dipergunakan.


Pergeseran ini terjadi karena kurangnya internalisasi budaya. Kurangnya pemahaman ini membuat anak-anak muda Papua pun terkadang acuh dan cenderung berasumsi bahwa misalnya bahasa Korea atau Bahasa Inggris dengan aksennya atau bahasa gaul yang sering mereka istilahkan adalah bahasa-bahasa yang jauh lebih baik dan menjadikan mereka merasa lebih modern, mungkin lebih manusiwi atau statusnya lebih berada ketimbang mengunakan bahasa ibu.

Di samping bahasa, tak bisa dipungkiri juga bahwa anak-anak muda Papua sedang berada dalam dinamika yang terkadang tak bisa dihindari karena mengadopsi gaya hidup modern dengan gaya atau mode berpakaian yang ke-“barat-barat”-an, berdansa dan berpakaian dengan gaya yang sering terlihat di televisi yang mungkin sering mereka tonton yang lazimnya dianggap tidak etis, kini tampak lebih etis. Sebaliknya tarian adat, lagu-lagu, ritual-ritual adat/ritus-ritus daerah seperti; goyang pantat, perang-perangan, tarian pinggul, toki tifa, wene pugut, awanni, waita, yospan, tumbuk tanah, menganyam noken, membuat kebun, pahat/ukir patung, tarian asmat, togok sagu, bakar batu/barapen dan lain sebagainya tidak menjadi, semakin memudar dan pelan-pelan semakin tersisih kemudian ditinggalkan dan hilang dengan sendirinya.

Sejumlah fenomena ini sedang dialami sebagian besar masyarakat dan khususnya kaum muda pada suku-suku di Papua yang umumnya tengah mengalami segregasi budaya akibat semakin terbukanya ruang terciptanya pergeseran nilai-nilai budaya. Situasi ini sangat membahayakan eksisnya budaya Papua di masa yang akan datang. Globalisasi seolah-olah bak penyakit kanker yang tengah mengakar kesetiap jaringan tubuh manusia.

Modernisasi dan globalisasi yang menggerogoti nilai-nilai budaya asli masyarakat Papua. Orang Papua menolak tidak akan menghentikan proses yang sedang terjadi dan menerima atau terbuka adalah sebuah pilihan yang tanpa dipaksakan akan tetap terjadi namun tergantung subyektifitas atau daya saring dalam masyarakat Papua, karena hal tersebut semakin terkondisi dan lebih parah lagi apabila dampak globalisasi terkonstruksi dalam masyarakat yang akhirnya akan menggeser nilai-nilai budaya asli Papua. Menjadi riskan bahwa terkadang representasi masyarakat terutama dikalangan anak muda terhadap budaya baru cukup intens. Maka, perlunya penumbuhan sikap benar-benar memahami struktur budayanya dan terlebih dalam konteks sebagai subyek karena terkadang subyektifitas selalu diperhadapkan pada pilihan-pilihan yang cukup atraktif atau lebih modern.

Regenerasi nilai-nilai budaya asli agar tidak hilang adalah salah satu cara yang secara alamiah telah terbawa dan telah menjadi tanggung jawab kaum muda Papua. Penerusan atau pewarisan nilai-nilai budaya sebaiknya tidak dijadikan sebatas slogan terhadap keidentitasan sebagai masyarakat Papua, misalnya dengan menggunakan pakaian adat, menyanyikan lagu dalam bahasa “tanah” atau bahasa “ibu” ataupun sekedar melakonkan cerita zaman dahulu dalam sebuah teater mini melainkan perlunya proses Internalisasi terhadap pemaknaan budaya asli yang benar-benar mendalam. Proses Internalisasi yang dimaksud adalah proses dimana kesadaran cultural yakni kesadaran nalar dan batin dapat dibangun agar terjadi keseimbangan. Jika tidak, maka pewarisan tersebut hanya akan bersifat mentransplantasi ke anak-anak dan generasi muda dan hal tersebut tidak akan bertahan lama, kemudian akan hilang bersama waktu atau kasarnya budaya tersebut hanya akan menjadi sejarah. Tentunya hal tersebut bukan harapan seluruh masyarakat adat Papua yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai budaya asli Papua, maka hal terpenting yang mestinya dilakukan adalah tidak hanya sekedar menjaga atau mempertahankan dan lebih dari pada itu menjadi subyek agar keberadaan nilai-nilai kebudayaan asli tidak hilang atau mati dan hal itu menjadi tanggung jawab semua pihak yang ada dan berada di Papua.

*Mahasiswa program Magister Antropologi UGM Yogjakarta

Sumber : tabloidjubi.com